Kamis, 24 Juli 2008

Bagaimana Memotivasi Orang Lain

Prinsip Dasar Memotivasi Orang Lain

Tentang bagaimana kita memotivasi diri sendiri, ini sudah sering kita bahas di sini. Ada pertanyaan kayak begini, berbedakah antara kita memotivasi diri sendiri dan memotivasi orang lain? Dalam beberapa hal, ada kesamaan. Sebagai manusia (human kind), semua manusia itu sama. Tapi sebagai person (individu), setiap orang itu punya perbedaan. Perbedaan di sini mencakup perbedaan yang dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Karena itu, dalam hal memotivasi pun berlaku prinsip kesamaan dan perbedaan itu.

Menurut pandangan teori kompetensi, kalau kita baru bisa memotivasi diri sendiri, itu memang sudah bagus. Tapi akan lebih bagus lagi kalau kita bisa memotivasi diri sendiri dan bisa pula memotivasi orang lain. Konon, menurut naluri manusia, setiap orang itu sebetulnya ada panggilan jiwa untuk memotivasi orang lain. Bentuknya antara lain: kita tidak suka melihat hidup orang lain tidak bergairah, malas-malasan, ogah-ogahan, dan semisalnya. Bentuknya lagi, kita merasa happy ketika sedang diminta masukan tentang kehidupan orang lain atau juga kita merasa lebih suka melihat orang lain yang aura hidupnya memancarkan keoptimisan, keteguhan, dan kedinamisan.
Meskipun sebenarnya orang lain itu butuh motivasi dari orang lain juga dan kita pun merasa happy melakukannya, tapi kejadian dalam prakteknya tidak seindah yang kita gambarkan di sini. Kejadian yang kita dapati di lapangan bisa bermacam-macam. Misalnya ada yang mengatakan, saya sudah capek ngasih masukan ke si dia. Sudah berbusa rasanya mulut ini, tapi tetap saja begitu. Yang lain mengatakan, dia berubah setelah dikasih masukan, dan setelah itu kembali lagi ke adatnya yang lama. Yang lain lagi punya pengalaman lebih buruk. Si dia lebih memilih defensif, ngeyel dan lebih cenderung menolak masukan dari orang lain.

Teorinya, setiap orang itu pasti bisa dimotivasi. Karena itu, teori motivasinya mengenal istilah sumber motivasi yang ekstrinsik dan intrinsik. Sumber motivasi ekstrinsik itu mencakup: perubahan keadaan, lingkungan, atau orang lain. Sedangkan yang intrinsik itu adalah dirinya sendiri, misalnya keinginan untuk mendapatkan atau menghindari sesuatu. Semua orang pada dasarnya punya sumber motivasi intrinsik ini. Dalam teori umum tentang manusia dikatakan, setiap manusia itu punya empat kapasitas, yaitu: a) kapasitas fisik / material, b) kapasitas daya mempertahankan / memperbaiki hidup, c) kapasitas intelektual, dan d) kapasitas kalbu / hati / emosi.

Dalam prakteknya, hubungan antara sumber ekstrinsik dan intrinsik itu pada umumnya saling terkait. Artinya, seseorang akan mudah termotivasi oleh sentuhan-sentuhan yang di luar dirinya apabila orang itu mengaktifkan sumber intrinsiknya. Sebaliknya, seseorang akan semakin tidak mudah tersentuh oleh motivasi ekstrinsik sejauh motivasi intrinsiknya belum aktif. Bahkan, pada batas yang paling ekstrim (yang sifatnya sangat eksepsional dan individual) sering ditemukan bahwa orang tidak akan termotivasi oleh berbagai bentuk sentuhan eksternalnya ketika orang itu menon-aktifkan sumber internalnya.

Karena itu, baik dalam kisah kenabian atau kisah manajemen, tetap dikenal istilah "keterbatasan toleransi". Ada seorang nabi yang dicontohkan oleh Tuhan "tidak sanggup" mengubah pendirian anaknya sampai pada batas yang benar-benar final. Ada juga yang dicontohkan tidak bisa mengubah keluarga atau orangtuanya. Manajemen pun begitu. Ada orang yang sampai harus diberhentikan karena sudah benar-benar tidak bisa diperbaiki dengan fasilitas dan instrumen yang ada. Sudah dikasih masukan, sudah dikasih teguran, sudah dikasih segala-galanya, tapi hasilnya nol.

Belajar dari fakta-fakta itu berarti ada sekelompok orang yang memang bisa menerima motivasi dari luar (ekstrinsik) secara langsung dan langsung diinternalisasikan ke dalam dirinya (intrinsik), ada yang menolaknya lebih dulu lalu menerima, ada yang lamban menerima, ada yang menerima pakai kuping kanan dan langsung dikeluarkan pakai kuping kiri, ada yang benar-benar menolak sampai Tuhan sendiri yang harus menyadarkan dengan mendatangkan realitas baru. Dan masih banyak lagi tipe manusia itu.

Dari persoalan yang pelik tentang manusia itu kemudian lahirlah pengakuan dalam teori motivasi. Pengakuan itu adalah, setiap orang itu memang punya dua sumber motivasi, yaitu: dari luar dan dari dalam. Tapi, sumber yang hakiki adalah sumber dari dalam (intrinsik). Sumber dari luar bersifat mendukung, sementara sumber dari dalam bersifat menentukan. Karena itu, jika kita memotivasi orang, yang perlu kita motivasi bukan tindakannya semata (only to motivate action), melainkan memotivasi orangnya untuk mengaktifkan sumber motivasi intrinsiknya (the people). Inilah yang disebut prinsip dasar itu.


Mengukur Motivasi Seseorang

Konsep manajemen yang kita pakai sekarang ini mengenal dua ukuran motivasi. Pertama adalah ukuran kuantitatif yang didasarkan pada hasil kerja. Jika si A berhasil menjual barang ke lima puluh orang dalam sebulannya, sementara si B hanya mampu sepuluh, maka secara kuantitatif, si A lebih tinggi motivasinya. Ini fakta yang berbicara. Kedua adalah ukuran kualitatif. Jika si A bekerjanya selalu menunggu perintah atau hanya sesuai dengan job desc, sementara si B bekerjanya melampui job description itu (beyond job description), berarti si B (secara kualitatif) punya motivasi jauh lebih bagus.

Kalau menelaah teori motivasi yang digagas ilmu pengetahuan dan agama, indikator tinggi-rendahnya motivasi seseorang itu terletak pada kemana ia membangun dependensi (kebergantungan). Semakin kuat seseorang menggantungkan sumber motivasinya pada faktor eksternal berarti semakin rendah. Sebaliknya, semakin kuat seseorang menggantung sumber motivasinya pada faktor internal berarti semakin kuat.



Ini bisa kita lihat misalnya saja pada teori kompetensi dalam manajemen. Orang yang motivasinya rendah adalah orang yang baru melakukan sesuatu hanya berdasarkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh job-desk atau atasannya. Maksudnya di sini miskin inisiatif untuk menyempurnkan, menginovasi atau memperbaiki performansi. Agak dibilang tidak lebih rendah adalah orang yang sudah punya dorongan untuk menginovasi atau mengimprovisasi tugas-tugasnya namun dengan cara yang kurang efektif atau kurang efisien atau bertentangan dengan nilai-nilai organisasi (ngawur). Yang paling tinggi adalah orang yang punya dorongan atas dasar inisiatif, efektif, efisien dan sinkron dalam memilih cara, serta menghasilkan kinerja yang lebih bagus.

Dalam Psikologi pun begitu. Kita bisa lihat ini ke teorinya Abraham Maslow itu. Semakin kuat seseorang menggantungkan sumber motivasinya pada kebutuhan fisiologis (perut, kalkulasi ekonomi jangka pendek, dst) berarti semakin rendah. Sebaliknya, semakin kuat seseorang menggantungkan sumber motivasinya pada kebutuhan psikologis (mengembangkan potensi, aktualisasi diri, dst) berarti semakin tinggi.

Wah, mana ada orang yang tidak menggantungkan sumber motivasinya pada kebutuhan fisiologis? Kan dia butuh makan, butuh kendaraan, butuh membeli susu anak-anaknya, butuh ini dan butuh itu? Memang dia malaikat? Maksudnya tentu bukan seperti itu. Ini adalah soal bagaiman seseorang memilih konsentrasi pikiran. Orang yang berkonsentrasi pada kebutuhan psikologis pun butuh motivasi fisiologis, namun tidak mengandalkannya sebagai faktor tunggal atau yang paling utama dan satu-satunya. Dengan begitu perspektifnya tentang motivasi jauh lebih luas dan sehingga langkahnya tidak mudah dipatahkan oleh kendala yang terkait dengan kebutuhan fisiologis. Karena itu, dalam prakteknya, semakin kuat seseorang menggantungkan sumber motivasinya pada kebutuhan psikologis (aktualisasi-diri) semakian secara otomatik kebutuhan fisiologisnya terpenuhi sendiri.

Agama pun punya ukuran yang sama. Semakin kuat seseorang mengandalkan dirinya sebagai bekal untuk menuju Tuhan (beriman) semakin tinggilah motivasinya. Inilah yang sering disebut keikhlasan dalam beribadah (pengabdian). Sebaliknya, semakin kuat seseorang mengandalkan Tuhan dan nasib, sampai-sampai "kapasitas dirinya" hilang, justru semakin rendah. Menurut petunjuk agama, orang yang motivasinya bagus adalah orang yang mengandalkan potensi dan kapasitas dirinya untuk berkreasi dan tetap mematuhi rambu-rambu Tuhan.

Contoh lainnya bisa kita lihat dalam konsep pengembangan karir. Semakin kuat seseorang mengandalkan keamanan karirnya pada pekerjaan, perusahaan, atau seseorang maka semakin rendahlah motivasinya dan keamanannya. Ini yang disebut job-based security. Sebaliknya, semakin kuat seseorang menggantungkan keamanan karirnya pada usahanya dalam mengembangkan karirnya itu maka semakin tinggilah motivasinya dan keamanannya. Inilah yang disebut people-based security.



Contoh lainnya lagi bisa kita lihat ke konsep perbaikan harga-diri (self-esteem) dalam Psikologi. Semakin kuat seseorang menggantungkan harga dirinya pada penilaian dan perlakuan eksternal, justru semakin rendah harganya. Lebih-lebih lagi kalau sampai menggantungkan harga diri itu pada obat-obatan atau narkoba. Ini malah bisa hilang total. Orang yang harga dirinya dijamin akan bagus adalah orang yang punya penilaian positif, punya perasaan positif, punya agenda positif dan menjalankannya untuk mempositifkan hidupnya.

Nah, jadi untuk mengukur tinggi rendahnya motivasi seseorang dalam melakukan kebaikan, baik itu di tempat kerja atau lainnya, kita bisa memakai ukuran abstraktif di atas.

0 komentar:

BEM FKM UNDIP